Minggu, 08 Januari 2012

Kisah Anak Manusia Yang Ber-orangtuakan Kucing

Awalnya, aku berniat mengikuti sayembara menulis cerita rakyat yang diselenggarakan balai budaya di kota. Niatnya tak kesampaian, untungnya menulis cerita rakyat itu justru tersampaikan di blog ini. Niat baik yang tak kesampaian ini, kuceritakan pada salah seorang rekanku di kantor. Katanya, lebih baik aku menulis tentang cerita rakyat Tionghoa seperti kue bulan dan ba’cang. Oleh karenanya, rekanku ini siap dan bersedia ditanyai tentang budaya-budaya Tionghoa lainnya. Waaaaah, matilah aku, kok jadi serius begini?. Oke, mungkin ide cerita kue bulan dan ba’cang itu bisa dilanjutkan kapan-kapan, tidak kali ini.
Lalu, sepulang dari kantor, aku langsung menuju rumah berhubung kekasih membatalkan jadwal makan malam kami karena benar-benar kelelahan mengikuti bos-bos calon pemimpin negeri ini selama seharian penuh. Akhirnya, sampailah aku di rumah seperti seekor kucing yang benar-benar kelaparan. Iseng, aku menceritakan sayembara cerita rakyat kepada adik-adikku yang lagi asyik menonton televisi. Yang paling kecilpun mulai nyolot, dan beginilah ceritanya (menurut versi adik bungsuku yang sejujurnya aku juga tak tahu, ibu-bapak apalagi, darimana asal muasal cerita ini berasal).
Pada zaman dahulu kala (standard penulisan cerita rakyat kan begini ya?), sepasang kucing jantan dan betina sedang asyik berbulan madu di tengah keheningan malam dan diiringi irama yang penuh syahdu. Sungguh tak disangka, tak berapa lama, buah cinta sepasang kucing ini ternyata melahirkan seorang anak manusia yang cantik nan rupawan. Sungguh semuanya adalalah anugerah dari Dewa-dewi di kayangan, pikir Kucing Jantan dan Betina seperti itu. Merekapun mengasuh anak manusia itu dengan penuh cinta dan kasih sayang. (Sampai disini, jangan ada yang protes, kok bisa kucing ngelahirin anak manusia? Yah, namanya juga dongeng! Sabar dulu ya pembaca…). Anak manusia itupun tumbuh menjadi seorang gadis jelita yang disukai banyak pria di kampungnya. Namun, satu persatu pria-pria itu mundur menggapai cintanya, tatkala mengetahui sang gadis beribu-bapakkan sepasang kucing, Jantan dan Betina.
Sang gadis pun menangis, berlari sambil terisak-isak dan meninggalkan kedua orang tua yang sudah mengasuhnya. Sang gadis bertekad, dia harus mencari sosok orangtua lain, yang lebih keren (kata anak jaman sekarang) hingga tak perlu merasa malu berorangtuakan Kucing. Lalu, sang gadispun menatap ke langit yang cerah. Dilihatnya, matahari begitu menantang dan menawan dengan cahaya panasnya yang menyengat. Dalam pikirian anak gadis yang picik ini, pastilah hanya Matahari yang pantas menjadi orangtua sebenarnya.
‘’Wahai Matahari, maukah kau menjadi orangtuaku ? Aku malu beribu-bapakkan kucing, mungkin Kaulah yang pantas menjadi orangtuaku. ‘’
‘’Anak manusia, sungguh aku tak pantas menjadi orangtuamu, karena ada makhluk lain yang lebih sakti melebihi kemampuanku. Dia mampu menggelapkan cahaya-cahayaku, bahkan Dia mampu melenyapkanku seketika saat aku sedang bersinar dengan cerahnya”
Di dalam hati anak manusia yang dodol ini, diapun bertekad harus menemukan sosok sakti yang di ceritakan oleh sang Matahari. Sosok sakti itulah yang lebih pantas menjadi orangtuanya kelak.
“Siapakah makhluk itu, wahai Matahari?’’
‘’Sang Awan” jawab Matahari.
Lalu, Mataharipun lenyap seketika, tiba-tiba saja hari yang begitu panas dan menyengat tadi langsung berubah menjadi sejuk dan adem. Muncul sang Awan, dengan warna putihnya yang sangat lembut. Tanpa basa-basi, gadis inipun memberikan penawaran yang sama kepada Awan, apakah mau menjadi orangtua nya? Ternyata, di atas langit masih ada langit. Awan yang begitu sakti melenyapkan Matahari ternyata masih merasa tak pantas menjadi orang tua si anak gadis. Awan mengatakan bahwa masih ada kesaktian yang tak dapat ditandinginya di alam jagad raya ini, Angin namanya. Seketika hembusan teramat dingin menyergap paras gadis yang molek ini. Lalu, Awanpun pecah berurai seketika, lenyap tanpa bekas, yang ada hanyalah Angin sepoi-sepoi yang menenangkan hati dan jiwa. Gadispun tak tinggal diam, ditanyakanlah perihal yang sama kepada Angin, apakah mau menjadi orangtuanya kelak. Anginpun ternyata mengelak dengan alasan masih ada kesaktian lain yang mampu mengalahkan hembusan-hembusannya. Sang Angin kemudian menunjuk kepada Gunung di atas sana. Angin bercerita kalau Gunung di ujung sana sanggup menahan hembusan badai sekalipun. Gunung itu begitu kokoh, tak dapat ditaklukkan. Si gadis jelitapun hampir putus asa, lalu berjalan kaki menuju puncak Gunung yang ditunjuk sang Angin. Sesampainya di Gunung, sang gadispun mulai berkeluh kesah tentang alasannya mendaki sang Gunung. Gunung malah tertawa, merasa sang gadis mempermainkannya. Sang Gunung pun berkata seperti ini,
“Gadis, kau tahu? Begitupun aku terlihat kokoh, masih ada satu makhluk yang suka sekali menginjak dan mengacak-ngacak kulitku di dunia ini. Jangan pura-pura tak tahu, Gadis! Kau lihat itu si Kerbau sudah mulai menginjak harga diriku!’’
Sang Gadis hampir benar-benar gila dan putus asa, melihat kenyataan tak satupun sosok sakti yang bersedia menjadi orangtuanya, lantaran masih ada yang lebih sakti di antara yang paling sakti. Lalu, gadispun menuruni kaki gunung, lalu mulai menepi ke hamparan sawah petani dan menyapa sang Kerbau. Masih dengan pola cerita yang sama, Kerbau pun langsung mengerti maksud gadis jelita ini. Namun, malang tak dapat ditolak, untung pun tak dapat di raih. Si Kerbau malah mengeluh kepada si Gadis karena sebenarnya masih ada makhluk bawah tanah yang sering mengacaukan tanah-tanah yang sudah dibajaknya dengan peluh keringat, lalu merusak lahan persawahan petani hingga dianggap sebagai hama oleh petani. Bahkan, makhluk-makhluk bawah tanah ini sering menggigiti kakinya saat kerbau sedang membajak sawah. Sang Gadis kali ini benar-benar putus asa, dan bertanya pada sang Kerbau, siapakah makhluk bawah tanah yang dimaksud? Jawaban Kerbau adalah para cecurut alias Tikus yang selalu menjadi hama petani.
Oke, sampai disini, ceritanya bisa ditebakkan? Si gadis jelita pun memohon agar sang Tikus menjadi orang tuanya. Ah, dasar bodoh! Tebak apa jawaban sang Tikus ? Tikus merasa tak punya kesaktian apa-apa karena hampir seluruh keluarga-nya dimakan oleh sang Kucing!. Hahahahhaha…. Nah looooh, dengan mata berlinang dan penuh sesal, gadis jelita inipun kembali pulang kepangkuan Ibu-Bapak kandungnya, sang Kucing Jantan dan Kucing Betina.
Nah, terlepas dari fiksi-nonfiksi-benar-apa-tidaknya ini cerita, apakah pesan moral yang ingin disampaikan? Pesannya adalah, siapapun orang tuamu, bagaimanapun rentanya dia, bagaimanapun menjengkelkannya dia, bagaimana buruknya keduanya dihadapanmu, bagaimanapun mereka tidak dapat menerima kelesbiananmu, bagaimanapunnnnn jugaaa…. Apalagi orang tua yang benar-benar merawatmu sedari kecil, bahkan mungkin masih merawatmu sampai sekarang….. Mungkin kau tak sadar, Ibulah yang mencucikan baju, menyetrika dan menjahit bajumu yang sudah robek, memasak sarapanmu setiap pagi. Mungkin kau juga tak sadar, Bapaklah yang setiap hari mengecek oli, air karburator atau minyak rem dari mesin kendaraanmu, hanya sekedar memastikan bahwa kendaraanmu memang benar-benar aman digunakan. Terimalah mereka dengan ikhlas, sebagai orang tuamu yang sebenar-benarnya. Tak ada orang lain ataupun orang tua selain orang tuamu sendiri, yang berhak menggantikan kedudukan keduanya, yang pantas menggantikan posisi mereka sebagai orang tuamu.
Ah, tak sangka, aku justru menulis kisah seperti ini di blog lesbianku. Karena aku tahu, seringkali seorang lesbian yang merasa sudah mapan dan dewasa, malah seperti terlupa akan jasa-jasa orang tuanya… Tak memperdulikan keduanya, bahkan terkesan menomorsekian-sekiankan orang tuanya setelah kekasih hatinya yang sangat dicintainya, ataupun berurut sekian-sekian-sekian jauh di urutan prioritas pekerjaannya,,,,,
Cintailah orang tuamu dan sayangilah mereka, apa adanya…
Sumber : http://ariegere.wordpress.com/2009/06/25/dongeng-rakyat-kisah-anak-manusia-yang-ber-orangtuakan-kucing/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar