Contoh bentuk pelanggaran Demokrasi Ham di indonesia pasal 28.A Sampai dengan pasal 28.J
Hak Asasi Manusia adalah hak yang melekat pada diri setiap manusia sejak awal dilahirkan yang berlaku seumur hidup dan tidak dapat diganggu gugat siapa pun. Sebagai warga negara yang baik kita mesti menjunjung tinggi nilai hak azasi manusia tanpa membeda-bedakan status, golongan, keturunan, jabatan, dan lain sebagainya. Melanggar HAM seseorang bertentangan dengan hukum yang berlaku di Indonesia. Hak asasi manusia memiliki wadah organisasi yang mengurus permasalahan seputar hak asasi manusia yaitu Komnas HAM. Kasus pelanggaran ham di Indonesia memang masih banyak yang belum terselesaikan / tuntas sehingga diharapkan perkembangan dunia ham di Indonesia dapat terwujud ke arah yang lebih baik. Salah satu tokoh ham di Indonesia adalah Munir yang tewas dibunuh di atas pesawat udara saat menuju Belanda dari Indonesia. Berikut ini akan di uraikan beberapa Kasus pelanggaran ataupun kontroversi HAM yang terjadi di Negara kita. Aturan tentang Hak asasi manusia terdapat pada UUD 1945 perubahan ke 2 pasal 28a sampai 28j. Dalam Pelaku pelanggaranpun Hukuman Mati Kontroversi hukuman mati sudah sejak lama ada di hampir seluruh masyarakat dan negara di dunia. Indonesia pun tak luput dari kontroversi ini. Sampai hari ini pihak yang pro hukuman mati dan yang kontra hukuman mati masih bersilang sengketa. Masing-masing datang dengan rasional dan tumpukan bukti yang berseberangan, dan dalam banyak hal seperti mewakili kebenaran itu sendiri. Seyogianya kontroversi itu berakhir ketika UUD 1945 mengalami serangkaian perubahan. Dalam konteks hukuman mati kita sesungguhnya bicara tentang hak-hak asasi manusia yang dalam UUD 1945 setelah perubahan masuk dalam Bab XA. Pasal 28A dengan eksplisit mengatakan: “Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya”. Jadi, ‘hak untuk hidup’ atau ‘the right to life’ adalah hak yang paling mendasar dalam UUD 1945. Hak untuk hidup ini adalah puncak hak asasi manusia yang merupakan induk dari semua hak asasi lain. POLIGAMI Setiap warga negara berhak mempunyai keturunan melalui perkawinan yang sah.Di indonesia Poligami masih menjadi Pro dan kontra di negeri kita.beberapa kalangan merasa hal tersebut adalah hak asasi setiap manusia. Menteri Agama M. Maftuh Basyuni mengatakan bahwa poligami bukanlah maksud hak asasi manusia yang tercantum pada pasal 28 B ayat (1) UUD 1945. Pasal ini menyebutkan setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah. Menurut Maftuh, hak asasi setiap orang yang diatur dalam pasal itu adalah kebutuhan untuk membentuk keluarga. Pandangan yang menganggap pasal 28 B menjamin poligami sebagai hak asasi manusia dinilai Maftuh sebagai pandangan yang keliru. Berpoligami dalam pandangan agama islam memang boleh-boleh saja.Namun tidak lazim jika menyebut Poligami sebagai ibadah.Poligami memang pernah dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW.Tapi itu sekedar untuk menolong janda-janda yang ditinggal mati oleh suaminya dalam peperangan bukan nafsu untuk memenuhi hasrat biologis semata. PILKADA Seyogyanya,ajang pemilihan kepala daerah (pilkada) merupakan darah segar yang menghidupkan organisme demokrasi lokal dengan berfungsinya organ-organ politik di daerah. Meski demikian, sepanjang sejarah penyelenggaraan pilkada di Indonesia, ternyata sarat pelanggaran hak asasi manusia (HAM). Salah satu penyebabnya adalah keran kebebasan yang terbuka demikian cepat menyebabkan membanjirnya partisipasi dalam pencalonan kandidat kepala daerah, sementara ruang kompetisi sangat ketat dan terbatas. Lagi pula, bayang-bayang potensi kekuasaan dan kekayaan yang amat menjanjikan dari jabatan kepala daerah menarik minat banyak kandidat,sementara kebanyakan dari mereka tidak memiliki integritas moral dan kapabilitas keahlian memadai. Karena itu,tidak jarang cara-cara licik dan premanisme politik,entah sengaja atau terpaksa,digunakan dalam meraup preferensi politik publik. Di sinilah pelanggaran HAM kerap terjadi. Sejatinya,apresiasi terhadap HAM merupakan elemen penting yang harus ada di dalam sistem politik demokrasi. Menurut ilmuwan politik G Bingham Powel (1982),salah satu kriteria prasyarat terciptanya demokrasi dalam dimensi empirik adalah ’’citizens and leaders enjoy basic freedom of speech,press, assembly and organization”. Karena itu, dalam rangka membangun demokratisasi dalam konteks lokal maka upaya meminimalisasi –jika tidak mungkin menghilangkan– pelanggaran HAM dalam penyelenggaraan pilkada merupakan hal yang signifikan untuk diwacanakan. EMAIL BERUJUNG BUI Kasus yang menimpah Prita Mulyasari cukup menarik.Sebetulnya bukan termasuk besar, tetapi rupanya ada konspirasi yang membesar-besarkan. Kasus ini bermula dari kejadian ” Curhat ” dan bersifat pribadi dari korban ( pasien ) di RS Omni Internasional atas dampak pengobatan yang mengakibatkan korban mengalami luka tambahan dari luka lama. Curhat tersebut dia ungkapkan kepada sahabatnya via email. Artinya si Prita dapat disebut sebagai pihak ” Konsumen ” dari penyedia jasa layanan usaha RS Omni tersebut. Sebagai konsumen Prita punya hak menyampaikan unek-unek ketidakpuasannya terhadap pelayanan penyedia jasa dan itupun dilindungi Undang – Undang nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Penegakan hukum terhadap Prita jelas-jelas melanggar HAM, Polres dan Kajari Tangerang dapat dituntut balik beserta Rumah sakitnya, demi nama baik dan kerugian yang diderita ibu 2 orang anak Balita ini. BUAH KAKAO Kasus nenek Minah asal Banyumas yang divonis 1,5 bulan kurungan dengan masa percobaan 3 bulan akibat mencuri tiga buah kakao membuat Menteri Hukum dan HAM Patrialis Akbar prihatin. Para penegak hukum harusnya mempunyai prinsip kemanusiaan, buka cuma menjalankan hukum secara positifistik. Ironi hukum di Indonesia ini berawal saat Minah sedang memanen kedelai di lahan garapannya di Dusun Sidoarjo, Desa Darmakradenan, Kecamatan Ajibarang, Banyumas, Jawa Tengah, pada 2 Agustus lalu. Lahan garapan Minah ini juga dikelola oleh PT RSA untuk menanam kakao. Ketika sedang asik memanen kedelai, mata tua Minah tertuju pada 3 buah kakao yang sudah ranum. Dari sekadar memandang, Minah kemudian memetiknya untuk disemai sebagai bibit di tanah garapannya. Setelah dipetik, 3 buah kakao itu tidak disembunyikan melainkan digeletakkan begitu saja di bawah pohon kakao. Dan tak lama berselang, lewat seorang mandor perkebunan kakao PT RSA. Mandor itu pun bertanya, siapa yang memetik buah kakao itu. Dengan polos, Minah mengaku hal itu perbuatannya. Minah pun diceramahi bahwa tindakan itu tidak boleh dilakukan karena sama saja mencuri. Seminggu kemudian dia mendapat panggilan pemeriksaan dari polisi. Proses hukum terus berlanjut sampai akhirnya dia harus duduk sebagai seorang terdakwa kasus pencuri di Pengadilan Negeri (PN) Purwokerto. Tragedi trisakti Tragedi Trisakti adalah peristiwa penembakan, pada 12 Mei 1998, terhadap mahasiswa pada saat demonstrasi menuntut Soeharto turun dari jabatannya. Kejadian ini menewaskan empat mahasiswa Universitas Trisakti di Jakarta, Indonesia serta puluhan lainnya luka. Mereka yang tewas adalah Elang Mulia Lesmana, Heri Hertanto, Hafidin Royan, dan Hendriawan Sie. Mereka tewas tertembak di dalam kampus, terkena peluru tajam di tempat-tempat vital seperti kepala, leher, dan dada. Penggusuran Rumah Penggusuran terhadap rumah warga selalu terjadi setiap tahun. Tata ruang kota selalu menjadi alasan bagi pemerintah untuk melakukan kebijakan yang merugikan bagi sebagian warga kota itu.Kebijakan pemerintah melakukan penggusuran ini dinilai sebagai bentuk pelanggaran HAM. Hal itu terungkap dalam diskusi yang digelar oleh Forum Warga Kota Jakarta (FAKTA), Jl Pancawarga IV, Kalimalang, Jakarta, Rabu (4/10/2006). Pembebasan Adelin Lis Pembebasan Adelin Lis yang merupakan tersangka kasus pembalakan liar yang banyak terjadi di Indonesia lembaga permasyarakartan tempat dia ditahan pada beberapa waktu yang lalu merupakan salah satu kasus pelanggaran HAM di negeri kita. Menteri Hukum dan HAM menegaskan, “ Bahwa bebasnya Adelin Lis dari lembaga permasyarakatan tersebut beberapa waktu yang lalu tlah di atur oleh petugas lembaga permasyarakatan yang bekerja di tempat Adelin Lis di tahan. Berikut adalah penuturan dari petugas penjaga lembaga permasyarakatan yang membantu bebasnya Adelin Lis, “ saya membantu Adelin Lis karna dia akan memberikan uang bila saya dapat mengatur surat pembebasan dirinya”. dari penuturan tersebut kenyataannya adalah aparat keamanan di Indonesia masih kalah dengan sistem kolusi yang sering digunakan oleh para peabat yang faktanya bersalah. Disamping itu, penjaga lembaga pemasyarakatan yang terkait dengan pembebasan Adelin Lis sekarang ini tlah dinyatakan sebagai tersangka. Yang menjadi perdebatan para aktivis HAM adalah, “Mengapa aparat keamanan yang berada dilembaga pemasyarakatan tempat Adelin Lis ditahan mudah sekali terbujuk oleh sebuah kenikmatan dunia sesaat yang dijanjikan oleh Adelin Lis? Tidak lama setelah Adelin Lis bebas, akhirnya aparat kepolisian berhasil kembali menangkap Adelin Lis.
BERBAGAI DEMOKRASI YANG PERNAH BERLAKU DI INDONESIA
a. Periode Berlakunya Demokrasi Liberal (1945-1959)
Pada masa ini, awal mulanya diterapkan demokrasi dengan sistem
kabinet presidensial yaitu para menteri diangkat oleh presiden dan
bertanggung jawab kepada presiden, sehingga yang berhak
memberhentikannya adalah presiden. Namun setelah dikeluarkannya
Maklumat Wakil Presiden No. X yang menyatakan BP KNIP menjadi
sebuah lembaga yang berwenang sebagaimana lembaga negara,
kemudian diperkuat dengan Maklumat Pemerintah tanggal 3
Nopember 1945 yang menyatakan diperbolehkannya pembentukan
multipartai, serta Maklumat Pemerintah tanggal 14 November 1945
yang menegaskan tanggung jawab adalah dalam tangan menteri. Lahirlah
sistem pemerintahan parlementer yang pada prinsipnya menegaskan
pertanggung jawaban menteri-menteri kepada parlemen. Pemberlakuan
UUDS 1950 menegaskan berlakunya sistem parlementer dengan
multipartai. Namun perkembangan partai-partai tidak dapat berlangsung
lama karena koalisi yang dibangun sangat rapuh dan gampang pecah,
sehingga mengakibatkan tidak stabilnya pemerintahan pada saat itu.
b. Periode Berlakunya Demokrasi Terpimpin (1959—1965)
Setelah keluarnya Dekrit Presiden 5 Juli 1959, maka UUD 1945
dinyatakan berlaku kembali, dan berakhirnya pelaksanaan demokrasi
liberal. Kemacetan politik yang terjadi pada masa itu dapat diselesaikan
dengan menggunakan demokrasi terpimpin, di mana dominasi
kepemimpinan yang kuat akan dapat mengendalikan kekuatan politik yang
ada pada saat itu.
Keadaan pada masa demokrasi terpimpin diwarnai oleh tank menarik
tiga kekuatan politik yang paling utama, yaitu Soekarno, Angkatan Darat
dan PKI. Soekarno membutuhkan PKI untuk menandingi kekuatan
Angkatan Darat yang beralih fungsi sebagai kekuatan politik, sedangkan
PKI memerlukan Soekarno untuk mendapatkan perlindungan presiden
dalam melawan Angkatan Darat. Angkatan darat sendiri membutuhkan
Soekarno untuk mendapatkan legitimasi agar dapat terjun ke arena politik
Indonesia.
Adanya tank ulur dalam kehidupan politik saat itu, memunculkan
masalah-masalah besar yang menyimpang dari kehidupan demokrasi yang
berdasarkan UUD 1945, yaitu:
1) Presiden diangkat sebagai presiden seumur hidup berdasarkan
ketetapan MPRS No.lI1/1963.
2) Adanya perangkapan jabatan oleh beberapa orang, di mana seorang
anggota kabinet dapat juga sekaligus menjadi anggota MPRS.
3) Keanggotaan MPRS dan lembaga negara lain tidak melalui proses
demokrasi yang baik, karena dilakukan dengan cara menunjuk
seseorang untuk menjadi anggota lembaga negara tertentu.
4) Pelaksanaan demokrasi terpimpin cenderung berpusat pada
kekuasaan presiden yang melebihi apa yang ditentukan oleh UUD
1945, yaitu dengan keluarnya produk hukum yang setingkat
undangundang dalam bentuk penetapan presiden (Penpres). Misalnya
Penpres No.2/1959 tentang pembentukan MPRS, Penpres No.3/1959
tentang DPAS dan Penpres No.3/1960 tentang DPRGR.
5) DPR basil Pemilu 1955 dibubarkan oleh Presiden karena RAPBN
yang diajukan pemerintah tidak disetujui DPR, dan dibentuklah
DPRGR tanpa melalui pemilu.
6) Terjadinya penyelewengan terhadap ideologi Pancasila dan UUD
1945, dengan berlakunya ajaran Nasakom (Nasionalisme, Agama,
Komunis).
7) Terjadinya Pembrontakan Gerakan 30 September PKI (G 30 S/PKI)
yang mengajarkan ideologi komunis.
Peristiwa Gerakan 30 September PKI dapat ditumpas dan dibubar-
kan beserta dengan antek-anteknya, bahkan PKI menjadi organisasi
terlarang. Hancurnya PKI, menandai berakhirnya sistem demokrasi :epimpin
dan munculnya Orde Baru yang ingin melaksanakan Pancasila
pan UUD 1945 secara murni dan konsekuen.
c. Periode Berlakunya Demokrasi Pancasila (1965—1998)
Gerakan pembrontakan yang dilakukan oleh PKI merupakan puncak
penyimpangan yang terjadi pada masa berlakunya demokrasi :erpimpin.
Tetapi hal ini menjadi titik tolak bagi pengemban Surat Perintah 11 Maret,
yaitu Soeharto untuk menuju puncak kepemimpinan nasional dengan
dikeluarkannya ketetapan MPRS No.XXXIII/MPRS/1967 tanggal 12
Maret 1967 tentang Pengangkatan Soeharto menjadi Presiden Negara
Republik Indonesia.
Pada masa orde baru berlaku sistem demokrasi pancasila. Dikatakan
demokrasi pancasila karena sistem demokrasi yang diterapkan didasarkan
pada Pancasila, yang intinya adalah kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakiln yang dijiwai sila
pertama, kedua, ketiga dan menjiwai sila kelima. Pengertian demokrasi
pancasila tersebut sesuai dengan Tap MPRS No. XXVII/MPRS/1968
tentang Pedoman Pelaksanaan Demokrasi Pancasila, di mana dalam
ketetapan tersebut disebutkan istilah Demokrasi Pancasiia adalah sama
dengan sila keempat dari Pancasila.
Ada beberapa fungsi Demokrasi Pancasila, yaitu:
1) menjamin adanya keikutsertaan rakyat dalam kehidupan bernegara;
2) menjamin tetap tegaknya negara Proklamasi 17 Agustus 1945;
3) menjamin tetap tegaknya negara kesatuan Republik Indonesia;
4) menjamin tetap tegaknya hukum yang bersumber pada Pancasila;
5) menjamin adanya hubungan yang serasi, selaras dan seimbang antara
lembaga-lembaga negara;
6) menjamin adanya pemerintahan yang bertanggung jawab.
Prinsip atau asas pelaksanaan Demokrasi Pancasila menurut pemerintahan
orde baru ada tiga, yaitu:
1) menjunjung tinggi hak asasi manusia dan martabat manusia;
2) kekeluargaan dan gotong royong;
3) musyawarah mufakat.
Namun, demokrasi pancasila dalam era Orde Baru hanya sebatas
keinginan yang belum pernah terwujud. Karena gagasan yang baik tu
baru sampai taraf wacana belum diterapkan. Praktik kenegaraan dan
pemerintahan pada rezim ini tidak memberikan ruang bagi kehidupan
berdemokrasi. M. Rusli mengungkapkan ciri-ciri rezim orde haru sebagai
berikut.
1) Adanya dominasi peranan ABRI dengan adanya Dwi Fungsi ABRI
pada saat itu, yaitu disamping sebagai kekuatan pertahanan keamanan
ABRI juga mempunyai peranan dalam bidang politik. Hal ini dapat
dilihat dengan jatah kursi yang diberikan ABRI dalam MPR;
2) Adanya birokrasi dan sentralisasi dalam pengambilan keputusan
politik;
3) Adanya pembatasan terhadap peran dan fungsi partai dalam
pengambilan keputusan politik;
4) Adanya campur tangan pemerintah dalam berbagai urusan partai
politik dan publik;
5) Adanya massa mengambang
6) Adanya monolitisasi ideologi negara; yaitu negara tidak membiarkan
berkembangnya ideologi-ideologi lain;
7) Adanya inkorporasi; yaitu lembaga-lembaga non pemerintah
diharapkan menyatu dengan pemerintah, padahal seharusnya sebagai
alat kontrol bagi pemerintah.
Kepemimpinan pada masa Orde Baru bertumpu pada Soeharto
sebagai presiden, ABRI, Golkar, dan birokrasi. Pengambilan kebijakan
bidang ekonomi lebih ditonjolkan tetapi ruang kebebasan lebih dipersempit,
sehingga pada pemerintahan orde baru nyaris tanpa kontrol masyarakat.
Hal ini mengakibatkan kemajuan ekonomi digerogoti oleh korupsi,
nepotisme, dan kolusi.
d. Periode Berlakunya Demokrasi dalam Era Reformasi (1998-
Sekarang)
Runtuhnya Orde Baru ditandai dengan adanya krisis kepercayaan
yang direspon oleh kelompok penekan (pressure group) dengan
mengadakan berbagai macam demonstrasi yang dipelopori oleh
mahasiswa, pelajar, LSM, politisi, maupun masyarakat.
Runtuhnya kekuasaan rezim orde baru telah memberikan harapan
baru bagi tumbuhnya demokrasi di Indonesia. Masa peralihan demokrasi
ini merupakan masa yang sangat rumit dan kritis karena pada masa ini
akan ditentukan kearah mana demokrasi akan dibangun. Keberhasilan
dan kegagalan suatu transisi demokrasi sangat bergantung pada empat
faktor, yaitu:
1) komposisi elite polit
2) desain institusi politik
3) kultur politik atau perubahan sikap terhadap politik dikalangan elite
dan non elite politik
4) peran masyarakat madani.
Keempat faktor tersebut harus berjalan sinergis sebagai modal untuk
mengkonsolidasikan demokrasi. Sedangkan Azyumardi Azra menyatakan
langkah yang harus dilakukan dalam transisi Indonesia menuju demokrasi
sekurang-kurangnya mencakup reformasi dalam tiga bidang besar, yaitu:
1) reformasi konstitusional (constitutional reform) yang menyangkut
perumusan kembali falsafah, kerangka dasar, dan perangkat legal
sistem politik.
2) reformasi kelembagaan (institutional reform and empowerment),
yang menyangkut pengembangan dan pemberdayaan lembaga politik;
3) pengembangan kultur atau budaya politik (political culture) yang
lebih demokratis.
Sedangkan dinamika demokrasi pada masa reformasi dapat dilihat
berdasarkan aktifitas kenegaraan sebagai berikut.
1) Dikeluarkanya Undang-Undang No. 31 tahun 2002 tentang Partai
Politik, memberikan ruang dan gerak lebih luas untuk mendirikan
partai politik yang memungkinkan berkembangnya multipartai. Hal
ini dapat dilihat dalam Undang-Undang No. 31 Tabun 2002 Pasal 2
ayat 1 yang menyatakan “partai politik didirikan dan dibentuk oleh
sekurang-kurangnya 50 orang warga negara Indonesia yang telah
berusia 21 tahun dengan akta notaris”.
2) Undang-Undang No.12 tahun 2003 tentang Pemilu memberikan
kebebasan kepada warga negara untuk menggunakan hak pilihnya
secara langsung untuk memilih anggota DPR, DPRD provinsi,
DPRD kabupaten/kota maupun DPD. Bahkan pemilihan presiden
dan wakilnya juga dilaksanakan secara langsung.
3) Upaya untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih dari KKN,
berwibawa dan bertanggung jawab dibuktikan dengan keluarnya
ketetapan MPR No.IX/MPR/1998 dan ditindak lanjuti dengan
Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tentang pembentukan Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan sebagainya.
4) Lembaga legislatif dan organisasi sosial politik sudah mempunyai
keberanian untuk melakukan fungsi kontrol terhadap ekskutif,
sehingga terjadi check and balance.
5) Lembaga tertinngi negara MPR berani mengambil langkah-langkah
politik dengan adanya sidang tahunan dan menuntut kepada
pemerintah dan lembaga negara lain untuk menyampaikan laporan
kemajuan (progress report).
6) Adanya kebebasan media massa tanpa ada rasa takut untuk dicabut
surat ijin penerbitannya.
7) Adanya pembatasan masa jabatan presiden, yaitu jabatan presiden
paling lama adalah 2 periode masa kepemimpinan.